Pemikiran Biar Tidak Sembarang Menulis Buku

Menulis buku bukanlah pekerjaan sembarang pilih. Oleh hasilnya, seorang penulis buku juga dilarang menulis dengan sembarang pilih.


 


Menulis buku tidak mampu dijalankan dengan asal-asalan. Penulis perlu menguasai berbagai macam teknik penulisan sekaligus kaidah tata bahasa yang bagus dan benar. Tentunya penguasaan akan teknik dan kaidah tersebut belum cukup kalau penulis tidak pernah mengasah kemampuannya dengan berlatih. Kurangnya pengertian mengenai kaidah dan teknik penulisan dapat menyebabkan penulis bekerja sekedarnya. Begitu pula jikalau penulis kurang berlatih, tulisannya mampu saja tidak sesuai dengan ketentuan penulisan. Selain itu, penulis juga akan berputar-putar tetapi tidak maju.


Untuk menyingkir dari hal tersebut dan mengantisipasi penulis melakukan pekerjaan secara sembarangan, dapat dikerjakan cara-cara tertentu. Cara-cara ini nantinya bisa dimanfaatkan oleh penulis supaya tidak bekerja sembarangan dan berusaha menciptakan goresan pena yang berkualitas. Dengan memerhatikan cara-cara tersebut, penulis juga nantinya mampu mengukur sejauh mana tulisan yang ia hasilkan.


Cara pertama yang mampu penulis terapkan dikala menulis buku yaitu menguasai problem yang ditulis. Jika penulis tidak paham mengenai duduk perkara yang dituliskannya, beliau akan tersendak-sendak. Ia juga tidak akan bisa memberikan pesannya kepada para pembaca.


Kemudian penulis mampu mengumpulkan inspirasi-ilham yang acak-acakan di pikirannya menjadi susunan gagasan yang tertulis rapi. Di samping itu, dia bisa mempersempit kalimat-kalimat panjang menjadi ringkas. Selanjutnya, penulis yang memakai poin-poin dalam tulisannya seharusnya menyusunnya dengan cermat dan rapi. Ia juga bisa memberikan klarifikasi yang jelas di tiap-tiap poin. Cara ini ialah cara kedua yang juga merupakan tujuan menulis bantu-membantu.


Penulis semestinya tidak melalaikan cara ketiga, ialah menghayati yang dituliskannya. Kebanyakan penulis asal mengetikkan kata-kata saja tanpa meresapi yang ia tulis. Jika tidak menghayati, tulisan mampu menjadi panjang namun bertele-tele dan membosankan, atau pendek namun terlalu singkat.


Cara keempat yakni menuliskan kata-kata yang gampang dicerna, ungkapan yang baik, dan kalimat yang ringkas namun terperinci. Penulis bisa menyingkir dari penggunaan kata-kata abnormal yang kurang familiar, kecuali dia menambahkan penjelasan atau artinya. Kemudian penulis juga semestinya tidak menggunakan kata-kata yang tidak pantas, atau yang tidak cocok dengan sopan santun dan etika.


Kelima, akan lebih baik jikalau penulis selalu menyempatkan waktunya untuk mengusut dan memeriksa tulisannya. Setelah final menulis buku, dia dapat memeriksa kembali dan mencermati tiap-tiap bagian tulisan. Jika terdapat kesalahan, beliau bisa eksklusif memperbaikinya. Ia juga perlu menilai telah atau belum layaknya goresan pena untuk diterbitkan atau dipublikasikan.


Penulis akan lebih baik jika menuliskan hal-hal yang gres. Cara keenam ini mengusulkan penulis semoga mencari masalah, tema, atau bahasan yang belum banyak diulas. Pembahasan mengenai hal-hal yang baru dan belum diulas akan lebih menarik bila dibutuhkan oleh banyak orang juga.


Cara ketujuh mengajak penulis untuk fokus. Dalam konteks ini, penulis hendaknya menuliskan hal-hal yang beliau kuasai saja. Penulis semestinya tidak merambah ke hal-hal lain, apalagi hal yang tidak dikuasainya. Selain tidak fokus, menyertakan hal-hal di luar kemampuan mampu menciptakan penulis malu pada jadinya alasannya salah memaparkan sesuatu.


Sudah wajib hukumnya bagi seorang penulis untuk membuang aneka macam hal yang bersifat imitasi, bohong, kotor, dan menyakiti orang lain. Hal ini selain melanggar aturan tabiat dan budbahasa juga membuat pembaca menurunkan empatinya. Tidak cuma itu, buku yang ditulis juga tidak mungkin untuk dipublikasikan alasannya mengandung berbagai hal yang tidak pantas. Kaprikornus, tetaplah bertumpu pada kejujuran. Itulah cara kedelapan.


Cara kesembilan ialah tidak gampang puas. Penulis dilarang terlalu cepat puas, apalagi kepincut dengan tulisannya sendiri. Ia perlu menguji kualitas tulisannya dengan meminta pendapat orang lain setelah membaca tulisannya. Di samping itu, beliau juga perlu membuka diri untuk mendapatkan segala macam masukan, baik kritik maupun usulan yang menjadikannya lebih baik.


Cara kesepuluh, penulis dapat mulai meningkatkan percaya diri dengan menerbitkan tulisannya. Apabila dia belum bisa menulis buku, beliau mampu menulis sebuah karangan yang nanti diposting di blog. Ia juga mampu menulis apapun yang diinginkannya sebagai wujud melatih kemampuan menulisnya. Jika ia sudah mampu menulis buku, tidak ada salahnya beliau terus mengeksplorasi tulisannya dan melakukan riset yang bisa mendukung isi bukunya.


Dengan mempraktikkan cara-cara di atas, penulis akan mulai membawa dirinya untuk menulis dengan baik. Ia tidak akan asal pilih lagi dalam berkarya, tidak juga menulis sekedarnya. Sedikit demi sedikit dan perlahan-lahan, penulis mampu mengganti kebiasaan menulisnya. Ia akan lebih sadar dan peka untuk menaati kaidah dan tata bahasa. Dengan demikian, beliau akan menulis buku yang tepat dengan aturan penulisan.


Tidak lagi menulis buku secara sembarangan juga akan mengembangkan kualitas goresan pena. Buku yang diterbitkan nantinya akan lebih disenangi pembaca alasannya isinya berbobot. Selain itu, penulisan yang benar dan tidak asal-asalan juga akan membawa fasilitas bagi penulis untuk mempublikasikan karyanya. Tentunya, kemungkinan ditolak penerbit akan lebih kecil jika beliau menulis dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah penulisan.


 


Referensi:



  1. http://afsokhq.blogspot.co.id/2014/10/penulis-jangan-asal-menulis.html?m=1 diakses pada 28 Juli 2016 pukul 19:44 WIB


[Wiwik Fitri Wulandari]



Sumber harus di isi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama