Museum Leiden
Pakar seni asal Kabupaten Buleleng, Bali, I Nyoman Durpa menyampaikan suatu museum Leiden di Kota Leiden Belanda banyak simpan bermacam tipe warisan kreasi seni periode lalu Bali Utara yang masih belum niscaya diketemukan di Indonesia.
“Banyak kreasi seni seperti wayang dan bermacam tipe lontar yang tidak berada di Bali sudah dibawa ke situ (Belanda),” kata Durpa di Singaraja, Bali, Sabtu (2/4).
Menurutnya, berdasar penelurusan riwayat bermacam tipe kreasi seni rupa Bali Utara dibawa ke Negeri Kincir Angin semenjak mulai mereka (Belanda) menjajah di Indonesia simpulan abad ke-17.
“Kreasi sastra Bali sungguh-sungguh diminati orang Belanda alasannya memiliki seni seni tingkat tinggi. Mereka yakin kelak bisa menjadi barang sungguh jarang,” ucapnya.
Durpa yang seorang penari kedok itu menambah, penduduk Belanda menjaga dengan betul-betul bermacam jenis kreasi seni asal Bali. Satu diantaranya benda orisinil dan sangat jarang yang diketemukan di Museum Leiden Belanda adalah wayang Tualen.
Museum Leiden Menyimpan Bukti Sejarah
Di museum Leiden, katanya, disimpan wayang Tualen dengan minim corak ukir-pahatan dan tanpa rambut.
“Wayang Buleleng di situ disimpan orisinil di Belanda, seperti wayang Tualen polos tanpa berisi jambot dan gundul tidak berisi rambut. Wayang Buleleng mempunyai ukir-pahatan lebih alami, terhitung tehnik pewarnaannya. Lain dengan ukir-pahatan berada di Bali Selatan,” katanya.
Disamping itu, dikala bertandang bawa visi budaya Bali Utara ke Belanda beberapa lalu diketemukan miniatur monumen perang Jagaraga, salah satunya narasi riwayat populer Bali Utara ketika kala penjajahan kemudian.
“Saat aku bertandang ke Museum Leiden didalamnya ada miniatur monumen perang Jagaraga. Ada juga perang Banjar, lontar-lontar dan warisan riwayat di Buleleng, banyak tercatat berupa buku disimpan rapi di situ,” paparnya.
Baca Juga: Biaya Transfer Bank BRI ke BCA, BNI, dan Mandiri
Di lain segi, Durpa menatap, Museum Leiden dan museum lainnya di Belanda demikian perduli pada budaya dan benda warisan di Buleleng dan Bali lazimnya .
Bahkan juga pengalaman ketika tampil menenteng tarian di daerah Ubud, Gianyar menenteng narasi babad di mana dilihat orang Belanda disebutkan kebenaran narasi rakyat (babad) yang ditampilkan gres capai 50 %.
“Orang Belanda diartikan selanjutnya memberi buku aslinya berisi narasi komplet babad di Bali. Keadaan ini memberikan periset dan pemain drama riwayat di Belanda semakin banyak pahami background warisan seni budaya di Bali Utara,” begitu Durpa.
La Bangenge Museum Benda Pusaka Ini Tak Lagi Terawat, Apakah Mesti Dijual Saja?
Tentunya ini tak sama kondisinya dengan Museum Leiden. Museum ini jauh dari harapan.
Museum La Bangenge yang terletak di Cappa Galung, Parepare kini tak terawat lagi. Kondisi bangunannya sudah rusak parah.
Salah satunya pada plafon ruang bab belakang museum tersebut. Kini telah bolong. Tripleksnya telah hilang.
Beruntung plafon museum yang masih berupa versi rumah zaman dahulu itu di bagian depan juga tengah ruangan masih utuh. Tetapi, warnanya kini juga sudah pudar.
Kondisi memprihatinkan ini belum pada benda koleksi museum tersebut. Tak sedikit, benda-benda pusaka juga benda peninggalan tempo dulu bertumpuk dimana-dimana. Beruntung, tak ada yang hilang juga rusak.
Katakanlah, benda pusaka yang ada kini masih ada seperti senjata tajam zaman dulu, keramik kuno, pakaian tradisional bugis arung bacukiki, lontar bugis, duit kuno, bahkan ada alquran goresan pena tangan. Itu masih utuh.
“Sebenarnya museum ini adalah milik Alm H Hamzah. Semasa hidup ia kerja di BRI dan memang hobi mengeoleksi benda-benda pusaka,” kata Umar Usman (65), yang sekarang mengelola museum tersebut.
Lebih jauh Umar membeberkan, dikala ini bantu-membantu museum cuma diatur olehnya yang memang masih keluarga erat Almarhum H Hamzah. Museum Leiden tak bisa dibandingkan dengannya.
“Museum La Bangenge ini bangun sejak 1974. Saya di sini mengurusnya semenjak tahun 80-an,” bebernya sembari menyampaikan dia yaitu menantu dari almarhum.
Umar pun membeberkan, sesungguhnya pada 2018 lalu ada perlindungan dari dinas pendidikan dan kebudayaan Parepare. Nilainya sekitar Rp50 juta.
“Sebenarnya untuk mengelolanya kami butuh relawan. Sebab, kami kewelahan menatanya sendiri,” akunya.
Umar pun berharap, ada perhatian dari pemerintah museum ini. Terutama, ada tenaga gaji untuk bantu memeliharanya.
“Tidak usah tiap hari, seminggu sekali juga tidak apa-apa,” tambahnya.
Awalnya, kata Umar, dahulu museum ini untuk masuk tidak membebankan ongkos ke hadirin, tetapi kini kondisinya berlainan. Orang masuk harus bayar dulu.
“Saat ini bahwasanya ada ratusan lebih pengunjung. Tetapi aku tidak catat, karena tidak ada buku tamu. Dulu ada aku pernah buat. Sekarang tidak lagi,” sambungnya. (*)
Sumber: Museum Leiden hingga Museum di Parepare, Museum Leiden hingga tropenmuseum, museum leiden, tropenmuseum, museum di jakarta selatan, museum nasional indonesia, museum di jakarta barat.
Sumber mesti di isi